ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
(SOFTSKILL)
HUKUM
PERJANJIAN
Nama : Iif
Hudzifah
NPM : 28211169
Kelas : 2EB04
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa melimpahkan taufik dan
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi dan
melengkapi tugas mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi. Dalam makalah ini
dibahas tentang Hukum Perjanjian.
Selanjutnya diucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini
dapat berdaya guna dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam kompetensi
mahasiswa. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang
membacanya.
Depok, April 2013
Penyusun
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi
yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial
budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk
mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia
berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah
perjanjian.
Upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan bisnis,
diantaranya adalah mewujudkannya dalam bentuk kontrak bisnis. Dalam bisnis,
kontrak merupakan bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan
kepada kebutuhan bisnis. Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan
overeenskomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas kontrak
sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.
RUMUSAN
MASALAH
Di dalam makalah ini
akan membahas mengenai hukum perjanjian antara lain meliputi persoalan:
- Pengertian Hukum Perjanjian
- Macam-Macam Perjanjian
- Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
- Lahir dan hapusnya suatu perjanjian
- Kebatalan dan pembatalan suatu perjanjian
- Resiko,wanprestasi, dan aklibatnya
Pengertian
Perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum,
karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak,
padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal
balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan
dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Perjanjian menurut Pasal 1313
Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan,
karena ada beberapa kelemahan.
Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di
bawah ini:
- Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
- Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
- Pengertian perjanjian terlalu luas
- Tanpa menyebut tujuan
- Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
- Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
- syarat ada persetuuan kehendak
- syarat kecakapan pihak- pihak
- ada hal tertentu
- ada kausa yang halal
Pengertian perjanjian
ini mengandung unsur :
a. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan”
pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan
hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang
atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit
harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu
sama lain. Pihak tersebut
adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan
dirinya, Di dalam
perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam
perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Macam-Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1.
Perjanjian dengan Cuma-Cuma
dan perjanjian dengan beban
Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu
perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak
lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.
Perjanjian sepihak
dan perjanjian timbal balik
Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah
suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.
Perjanjian
konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan
dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan
adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.
Perjanjian bernama,
tidak bernama dan, campuran
Perjanjian
bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata
ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah
perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung
berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat
yaitu :
- Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya
adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju
untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini
harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan
tidak ada gangguan.
- Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian
atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan
sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
- Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan
kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit
ditetapkan jenisnya.
- Sebab yang halal
Sebab ialah tujuan
antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal
1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang
Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai
kekuatan atau batal demi hukum.
Dua syarat yang
pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif.
Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai
perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Lahir
dan Hapusnya Suatu Perjanjian
A.
Perikatan-prikatan
yang lahir dari perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang harus
terpenuhi empat syarat yaitu:
1.
Perizinan
yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal
tertentu yang diperjanjiakan
4.
Suatu
sebab(oorzaak) yang halal, artinya yang tidak terlarang(pasal:1320).
Selanjutnya
undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu
oorzaak(“caosa”)yang diperbolehakan. Secara leterlijk kata oorzaak atau caosa
berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu
ialah tujuan yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan
perjanjian itu. Misalnya, dalam suatu perjanjian jual beli: satu pihak akan
menerima sejumlah uang tunai dan pihak lain akan menerima bunga(rente). Dengan
kata lain caosa berati: isi perjanjian itu sendiri.
Suatu perjanjian harus
dianggap lahir pada waktu tercaiannya suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan
kesediannya untuk meningkatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu
dan sepakat misalnya dengan memasang harga pada barang ditoko, orang yang
mempunyai toko itu dianggap telah menyatakan kehendaknya untuk menjual
barang-barang itu. Apabila ada sesuatu yang masuk ketoko tersebuit dan menunjuk
suatu barang serta membayar harganya dapat dianggap telah lahir suatu
perjanjian jual beli yang meletakkan kewajiban pada pemilik toko untuk
menyerahkan baran-barang itu
B.
Perihal-perihal
hapusnya perikatan
Undang-undang
menyebutkan 10 macam cara hapusnya perikatan. Antara lain
1.
Karena
pembayaran
2.
Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu
disuatu tempat
3.
Pembaharuan
hutang
4.
Kompensasi
atau perhitungan hutang timbal balik
5.
Percampuran
hutang
6.
Hapusnya
barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
7.
Pembatalan
perjanjian
8.
Akibat
berlakunya suatu syarat pembatalan
9.
Lewat
waktu
Perincian dalam jumlah
pasal 1381B.W. itu tidak lengkap karena telah dilupakan hapusnya suatu
perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian. Selanjutnya dapat diperingatkan ppada beberapa cara yang khusus
ditetapkan terhadap perikatan misalnya ketentuan suatu perjanjian”maatchap”
atau perjanjian “Lastgeving” hapus dengan meninggalnya seorang anggota maatchap
itu atau meninggalnya orang yang memberikan perintah dan karena curatele atau
pernyataan pailit mengakibatkan juga hapusnya perjanjian maatchap itu.
Kebatalan dan Pembatalan Suatu Perjanjian
Pembatalan ini pada
umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada
waktu perjanjan sebelum dibuat. Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undanbg itu
untuk melindungi suatun pihak yang membuat perjanjian sebagai mana halnya
dengan orang0-orang yang masih dibawah umur/dalam hal te;lah terjadi suatu
paksaan, kekilafan atau penipuan, maka opembatalan itu hanya dapat dituntut
oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Penuntutsn pembatalan
yang daopatr diajukan olerh salah sau pihak yang membuat perjanjian yang dirugikan,
karena oerjanjian itu harus dilakukan setelah waktu lima tahun, waktu mana
dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung
mulai hari orang itu teklah menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang
dibuat karena kekhilafan atau peni[uan dihitung mulai hari dimana kekhilafan
atau penipuan ini diketahuinya. penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh
hakim jka terrnyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang rugikan.
Akhirnya, selain
dari apa yang diatur dalam B.W. yang diterangkan diatas ini, ada pula kekuasaan
yang oelh organisasi woeker (stbl. 1938-5240) diberikan pada hakim untuk
membatalkan perjanjian, jika ternyata antara kedua belah pihak telah diletakan
kewajiban timbal balik yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata
pula satu pihak berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam
keadaan terpaksa.
Resiko,Wanprestasi,
dan Aklibatnya
Kata resiko, berarti
kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kerugian jikalau ada suatu
kejadian diluar kesalahan, salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan
dalam perjanjian. Dalam pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian
mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak itulah perjanjian
menjaditanggungan orang yang menagih atau penyrahannya yang dimaksud pasal
tersebut ialah salah satu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada satu
pihak saja, misalnya: jika ada seorang menjanjiakan seekor kuda, dan kuda ini
belum diserakan kemudian mati karena disambar petir maka perjanjian dianggap
hapus. Orang yang menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan.
Iapun tidak usah memberikan suatu kerugian dan orang yang menrima kuda itu akan
tetapi menurut pasal tersebut bila si berhutang itu lalai dalam kewajibannya
untuk menyerahkan barangnya maka sejak saaty itu maka resiko berpindah diatas
pundaknya meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan resiko itu.
Resiko dalam
perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu dinamakn
perjanjian timbal balik. Menurut pasal 1460 dalam suatu perjanjian jual beli
mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian
barang itu sudah menjadi tanggungan sipembeli meskipun ia belum diserahkan sdan
masih berada ditangan penjual. Dengan demikian, jika barang itu dihapus bukan
karena salahnya sipenjual, sipenjual masih tetap berhak untuk menagih harga
yang belum dibayar. Dalam pasal 1545 menetapkan bahwa jika dalam suatu
perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan.
Sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus diluar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran yang dianggap dengan
sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk
meminta kembali barang itu. Dengan kata lain resiko disini diletakkan diatas
pundak pemilik barang itu sendiri dan hapusnya barang sebelum penyerahan
membawa pembatalan perjanjian.
Berhubung dengan
sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim
dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya
berlaku dalam hal suatu barang yang sudfah di beli. Tetapi belum diserahkan
hapus sebagaimana telah diterangkan seorang debitur yang lalai , melakukan “wan
prestasi” dapat digugat di depan hakim, dan hakim akan menjatuhkan putusan yang
merugikasn pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai apabila ia tidak
memenuhi kewajibannya/memnuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Hal kelalaian/wan prestasi pada pihak si berhutang ini dinyatakan secara resmi
yaitu dengan memperingatkan si berhutANG itu, bahwa si berhutang itu mnghendaki
pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.
KESIMPULAN
Perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak
lain, dan dimana dua orang/dua pihak ituv saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan
hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada
salah satu untuk menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak
lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara
perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam
pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat
mereka yang mengakibatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal
tertentu
4.
Suatu
sebab yang halal
DAFTAR PUSTAKA
- http:// www.geogle.co.id/ ttgf: sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian.
- http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/hukum-perjanjian.html
- http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/saat-lahirnya-perjanjian/
- http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:94KHNmW-ntkJ:www.scribd.com/doc/53682222/Hukum+Perjanjian+pembatalan+dan+pelaksanaan+suatu+perjanjian+hukum+perjanjian&cd=15&hl=id&ct=clnk&gl=id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar